Pages

Senin, 10 Januari 2011

Politik dan kekuasaan (tanpa) Rumah Kaca

Kekuasaan yang gagal mengelola data kependudukan mudah mengundang prasangka. Kegelapan menyelimuti ruang-ruang sosial yang ditanganinya. Kekuasaan dijalankan bukan dengan menerapkan transparansi, melainkan manipulasi.

Masyarakat ditundukkan tidak melalui iluminasi (cahaya yang memberi penerangan), melainkan distorsi (kekaburan yang menimbulkan ketersesatan). Kekuasaan semacam ini rentan menuai gugatan meskipun lahir dari kontestasi yang memiliki keabsahan.

Itulah situasi yang terus menyelimuti kekisruhan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menjadi bayang-bayang menakutkan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009. Kekacauan DPT merupakan bukti betapa selama ini data kependudukan tidak dikelola secara baik. Padahal, data kependudukan merupakan basis pengetahuan dari situasi kehidupan yang terdapat dalam negara. Jika negara tidak becus merawat data itu, maka mustahil dinamika sosial secara baik mampu terbaca. Data kependudukan bukan hanya perkara angka-angka.

Dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April lalu, DPT di sejumlah daerah diduga sengaja dimanipulasi. Tujuan akhir dari praktik-praktik penuh muslihat itu adalah meraih kemenangan dalam pertarungan politik. Masif, luas, dan meratanya persoalan DPT memunculkan dugaan ada kekuatan besar yang bermain dalam kekacauan itu.

Data, yang merupakan bentuk jamak bahasa Latin datum, berarti “memberi” atau “sesuatu yang diberikan”. Siapa yang memberi? Kepada pihak mana? Apa yang diberikan? Berkenaan dengan data kependudukan, pihak yang memberi adalah warga kepada institusi negara yang memiliki otoritas mengelola kependudukan. Apa yang diberikan adalah sejumlah fakta, informasi, dan pengetahuan yang pernah dialami warga. Melalui data itu bisa terungkap nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, golongan darah, tempat tinggal, agama, pekerjaan, serta status marital. Semua data itu bersifat sangat pribadi, tapi negara berhak mengetahuinya. Negara yang tidak mampu mengetahui data kependudukan warganya secara detail hanya melahirkan kekisruhan.

Analisa nya adalah kekuasaan yang tidak mampu menjalankan politik rumah kaca bagaikan sosok manusia renta yang memandang persoalan dengan kekeruhan tatapan mata. Meskipun kedua mata itu di pasangi perangkat yang membantu penglihatan, tetap saja tidak bisa memandang persoalan yang transparan.


0 komentar:

Posting Komentar