Pages

Senin, 10 Januari 2011

Jenis-jenis Kekuasaan, Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan

Dalam mempelajari ilmu politik kita kerap ‘dipusingkan’ oleh berbagai macam istilah yang satu sama lain saling berbeda. Peristilahan yang seringkali ditemukan tersebut misalnya monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, mobokrasi, federasi, kesatuan, konfederasi, presidensil, dan parlementer. Bagaimana kita harus mengkategorikan masing-masing istilah tersebut?

Apa perbedaan antara monarki dengan parlementer? Sama atau berbedakah pengertian antara tirani dengan monarki? Dalam konteks apa kita berbicara mengenai presidensil atau oligarki?

Jika kita berbicara mengenai monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan mobokrasi, berarti kita tengah berbicara mengenai jenis-jenis kekuasaan. Jika kita berbicara mengenai federasi, kesatuan, dan konfederasi, berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk negara. Jika kita berbicara mengenai presidensil dan parlementer berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk pemerintahan.

Jika kita berbicara mengenai jenis kekuasaan, berarti kita tengah berbicara mengenai apakah kekuasaan itu dipegang oleh satu tangan (mono), beberapa tangan atau orang (few), ataukah banyak tangan atau orang (many). Definisi kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pihak lain agar mereka menuruti keinginan atau maksud si pemberi pengaruh.

Jenis-Jenis Kekuasaan

1. Monarki dan Tirani

Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau persaingan antarkelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan.

Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga saat ini adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara ini, monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif, misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki.

Kapling Partai atas Kekuasaan

Sejak disahkannya UU Pilpres, wajah calon presiden semakin terlihat jelas. Paling tidak para peserta kontestasi dalam Pilpres semakin terbatas. Dengan batasan minimal 20% kursi DPR atau 25% suara, maka yang paling memungkinkan mengajukan calon presiden hanya partai besar. Partai dengan suara terbatas tidak punya peluang untuk mencalonkan presiden kecuali dengan koalisi.

Namun dari wacana dan hasil survei yang berkembang, justru capres yang menguat adalah sosok yang, kursi dan suaranya, belum memenuhi standar UU Pilpres tersebut. Dari beberapa kali survei nama yang selalu muncul sebagai calon presiden adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. SBY yang diusung Partai Demokrat saat ini hanya mendapatkan 8% kursi dan Megawati (PDIP) 19% kursi. Kalau melihat komposisi wakil partai di parlemen yang ada sekarang, maka hanya Partai Golkar lah (22% kursi) yang paling berhak mengajukan calon presiden. (Saiful Mujani-William Liddle, 2008). Namun sampai saat ini Golkar belum menentukan Capresnya secara definitif, bahkan kecenderungannya masih tetap menempatkan Jusuf Kalla sebagai pasangan SBY.

Kalau berdasarkan temuan mutakhir Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilansir pada 16 November kemarin, tidak ada satu parpol pun yang mencapai batas minimal pengajuan Capres-Cawapres. Besarnya swing voter menyebabkan partai-partai besar seperti Partai Golkar dan PDIP cenderung mengalami penurunan suara. Menurut hasil survei LSI, Partai Golkar hanya didukung 15,09 persen dan PDIP 14,2 persen. Justru kenaikan didapat Partai Demokrat, 16,8 persen. Dengan demikian, masing-masing partai sangat berkepentingan menjajaki kemungkinan koalisi untuk meraih kursi kekuasaan di Republik ini. Kenyataan ini merupakan efek dari tingginya syarat (UU) pencalonan presiden yang disahkan oleh DPR.

Kalau Pejabat Salah Gunakan Kekuasaan, Akan Gelap Negara Kita

Malang: Pasangan SBY - Boediono hari Jumat (12/6) siang mengawali kampanye terbuka Pilpres 2009, di Kota Malang, Jawa Timur. Kampanye terbuka di hari pertama putaran pertama SBY - Boediono digelar di GOR Ken Arok, Malang, yang dihadiri belasan ribu massa yang meneriakkan yel-yel "Lanjutkan! Lanjutkan!"

Hadir pula beberapa pimpinan partai koalisi pendukung SBY - Boediono, antara lain Tifatul Sembiring (Presiden PKS), Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB), Suryadharma Ali (Ketua Umum PPP), Hadi Utomo (Ketua Umum Partai Demokrat) dan Zulkifli Hasan, Sekjen DPP PAN. Sejumlah artis turut memeriahkan acara yang dihadiri oleh ribuan pendukung pasangan SBY Boediono. Seperti Mike dan Joy Idol, Rio Febian serta Ferdy Hasan.

Dalam orasinya yang bertema Membangun Pemerintahan Bersih untuk Rakyat, SBY menyerukan kampanye sebaiknya dilakukan secara damai. "Tidak baik di hadapan rakyat saling hantam-menghantam, apalagi dalam kampanye damai," ujar SBY. SBY juga kembali menegaskan komitmennya untuk membangun pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi, nepotisme, serta komitmennya untuk menciptakan pemerintahan yang tanggap terhadap keinginan rakyat, transparan, dan bertanggung jawab.

Politik dan kekuasaan (tanpa) Rumah Kaca

Kekuasaan yang gagal mengelola data kependudukan mudah mengundang prasangka. Kegelapan menyelimuti ruang-ruang sosial yang ditanganinya. Kekuasaan dijalankan bukan dengan menerapkan transparansi, melainkan manipulasi.

Masyarakat ditundukkan tidak melalui iluminasi (cahaya yang memberi penerangan), melainkan distorsi (kekaburan yang menimbulkan ketersesatan). Kekuasaan semacam ini rentan menuai gugatan meskipun lahir dari kontestasi yang memiliki keabsahan.

Itulah situasi yang terus menyelimuti kekisruhan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menjadi bayang-bayang menakutkan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009. Kekacauan DPT merupakan bukti betapa selama ini data kependudukan tidak dikelola secara baik. Padahal, data kependudukan merupakan basis pengetahuan dari situasi kehidupan yang terdapat dalam negara. Jika negara tidak becus merawat data itu, maka mustahil dinamika sosial secara baik mampu terbaca. Data kependudukan bukan hanya perkara angka-angka.

Dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April lalu, DPT di sejumlah daerah diduga sengaja dimanipulasi. Tujuan akhir dari praktik-praktik penuh muslihat itu adalah meraih kemenangan dalam pertarungan politik. Masif, luas, dan meratanya persoalan DPT memunculkan dugaan ada kekuatan besar yang bermain dalam kekacauan itu.

Data, yang merupakan bentuk jamak bahasa Latin datum, berarti “memberi” atau “sesuatu yang diberikan”. Siapa yang memberi? Kepada pihak mana? Apa yang diberikan? Berkenaan dengan data kependudukan, pihak yang memberi adalah warga kepada institusi negara yang memiliki otoritas mengelola kependudukan. Apa yang diberikan adalah sejumlah fakta, informasi, dan pengetahuan yang pernah dialami warga. Melalui data itu bisa terungkap nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, golongan darah, tempat tinggal, agama, pekerjaan, serta status marital. Semua data itu bersifat sangat pribadi, tapi negara berhak mengetahuinya. Negara yang tidak mampu mengetahui data kependudukan warganya secara detail hanya melahirkan kekisruhan.

Analisa nya adalah kekuasaan yang tidak mampu menjalankan politik rumah kaca bagaikan sosok manusia renta yang memandang persoalan dengan kekeruhan tatapan mata. Meskipun kedua mata itu di pasangi perangkat yang membantu penglihatan, tetap saja tidak bisa memandang persoalan yang transparan.


Relasi Modal Dan Kekuasaan di Era SBY

Modal dan kekuasaan. Ibarat dua mata uang yang tidak terpisahkan, saling menopang satu sama lain.

Politik membutuhkan modal untuk mengatrol kemenangan. Sementara modal membutuhkan politik sebagai alat untuk memperoleh keuntungan.

Dalam dunia politik, modal merupakan salah satu kekuatan yang dapat mengantarkan kemenangan. Sinergi keduanya akan memunculkan kekuatan luar biasa.

Dalam percaturan politik Indonesia, kecenderungan "take and give" antara modal dan kekuasaan begitu terlihat. Seorang yang ingin menjadi penguasa harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar dari kantongnya. Tanpa modal, kekuasaan hanya menjadi angan belaka.

Ekses negatif hubungan modal dan kekuasaan masih membelenggu pimpinan negara ini. Pimpinan negara kadang setelah terpilih tidak bisa berbuat banyak untuk rakyat. Bahkan, justru kerap membuat rakyat makin menderita. Kenapa begitu?

analisa nya adalah selama lima tahun menjabat, tiga tahun pertama ia disibukkan mengembalikan utang atas modal kampanye dan dua tahun terakhir sibuk mempersiapkan modal untuk Pemilu berikutnya.Selain itu, selama lima tahun pemerintahannya, ia harus membuat kebijakan-kebijakan "pro pemilik modal". Karena keberhasilannya terpilih tak lepas dari peran serta mereka. Itulah realitas dalam kehidupan politik di Indonesia.

Kepercayaan publik dan kekuasaan yang cenderung korup

Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi mata uang, korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak korupsi. Inilah hakikat pernyataan Lord Action, guru besar sejarah modern di Cambridge Inggris yang hidup di abad 19 dengan adigum yang terkenal: Power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kuasaan itu cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang absolute sudah pasti disalahgunakan)

Perang melawan korupsi harus didukung oleh rasa keadilan tentu tidak bisa hanya dilakukan dengan cara-cara yang hanya bersifat normatif. Namun, perlu dilakukan dengan cara-cara luar biasa karena kejahatan korupsi sudah masuk dalam kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime). Pertanyaannya adalah, apakah cara-cara luar biasa itu mengenal batas atau tidak? Yang pasti korupsi adalah musuh bersama rakyat Indonesia.

Dalam masyarakat yang penuh ketidakadilan, maka warga masyarakatnya secara alami akan ‘membenci’ Ideologi hukum yang memberikan alasan untuk dan mendukung ketidakadilan itu. Muncul sikap kehilangan kepercayaan terhadap norma-norma hukum, atau kehilangan kepercayaan terhadap ‘law enforcement’ itu dapat berupa:

1. Rasa Keadilan Masyarakat

Hanya satu cara untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan penegakan hukum, yaitu mewujudkan keadilan yang bukan hanya untuk ‘dikata-katai dengan kalimat-kalimat sloganistik’, melainkan kedilan yang benar-benar mampu disaksikan dan dirasakan oleh mata telanjang dan mata hati setiap warga masyarakat. Prinsip ‘bukan manusia untuk hukum, melainkan hukum untuk manusia’, harus diwujudkan.

2. Perlawanan Kejahatan Korupsi

Perlawanan masyarakat pada korupsi sudah sampai pada titik nadir ketidaksabaran menunggu komitmen mereka para penegak hukum dianggap lamban dalam upaya penindakan pada perkara-perkara korupsi ada kesan dugaan justru aparat penegak hukum kita secara membabibuta melindungi koruptor. Contoh perseturuan KPK dengan Polri yang berpuncak pada kriminalisasi 2 (dua) pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, yang berdampak pada hubungan antara penegak hukum untuk saling mengkonsolidasikan perang melawan koruptor justru berjalan sendiri-sendiri. Sedangkan permasalahan yang saat ini menjadi perhatian publik baik di tingkat nasional maupun lokal atas perkara korupsi benar-benar meresahkan dan mengoyak rasa keadilan.

analisa nya adalah dalam negara hukum, negara dituntut aktif mengembangkan segenab upaya mensejahterakan rakyat. Negara hukum melahirkan suatu konsekuensi, yaitu tanggung jawab negara mensejahteraan rakyatnya. Di Indonesia, energi negara di era transisi hampir tersedot habis untuk menata kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru

Persoalan yang menyangkut cendekiawan selalu menarik publik politisi Indonesia. Namun, bilamana seseorang memeriksa dengan agak teliti ternyata tidak banyak buku yang ditulis tentang soal itu dalam bahasa Indonesia oleh orang Indonesia sendiri. Juga tidak banyak buku yang ditulis dalam bahasa asing oleh orang asing tentang masalah ini. Kalau pun ada jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan dari jumlahnya yang ada sebagian besar merupakan percikan pikiran dan kepingan-kepingan lepas dari ratusan malah ribuan artikel yang ditulis di suratkabar dan majalah.Dengan memilih pendekatan analisis wacana politik buku Cendekiawan dan Kekuasaan mencoba membuka medan cendekiawan tersebutyang ternyata penuh pertikaian, dan pertarungan yang berdarah dan tidak berdarah. Orde Baru menjadi situs utama pencarian dan penemuan penelitian ini. Dalam buku ini, Orde Baru dibongkar dari dasar-dasar paling halus dari sistem politik yang dibangun. Dasar itu adalah wacana yang diproduksikan, kekuasaan yang dibangun, dan dampak kekuasaan terhadap ekonomi, poliik, dan kebdayaan pada umumnya.