Pages

Kamis, 21 Oktober 2010

Bertengkar yang Sehat

Punya teman tentu menyenangkan, apalagi yang sudah setia hingga sebutannya sudah tak teman lagi, tapi sahabat. Mau curhat tinggal cerita, terlebih lagi jika sang sahabat adalah orang yang kerap kali menunjukkan jalan keluar bagi masalah kita. Sebaliknya, kita yang jadi sahabat dia juga harus siap untuk menjadi wadah curhat, trus beri pula jalan keluar yang baik baginya. Persahabatan yang saling mengisi seperti ini tentu membuat dunia kita jadi tenteram, hidup pun enjoy saja.

Teman setia kita tentu menginginkan agar kita menjadi baik. Kadang kala sesuatu yang baik itu berarti ‘memaksa’ kita untuk membuang sesuatu yang buruk, padahal kita senang terhadap yang buruk itu –tentu saja senang yang seperti ini nggak boleh. Berpedoman kepada ‘katakan kebenaran walaupun pahit’, sahabat kita pun kadang harus mengatakan yang benar tapi menyakitkan itu. Di sinilah sering timbul picuan perselisihan dan konflik. Ujung-ujungnya kita bisa bertengkar dengan sahabat kita. Karena kritik ataupun bukan karena kritik, yang namanya bertengkar tentu tidak enak rasanya. Lalu harus gimana?
Memang sudah sebaiknya bertengkar itu harus dihindari. Jika nasihat penyebabnya, kita harus introspeksi serta belajar menerima nasihat dan kritik dengan baik. Setelah bertengkar, memaafkan merupakan tindakan yang kudu Anda lakukan. Tapi ada kalanya kita terjebak pada pertengkaran. Sudah terlanjur ramai dan agak naik darah sedikit, dan masing-masing merasa perlu menuntaskan masalah ini.
Inilah yang akan dibahas: bagaimana bertengkar dengan baik dan sehat. Memang sih, pada dasarnya pertengkaran itu tak akan membawa hasil, kecuali rasa sakit dan kebencian. Dengan memaknai pertengkaran sebagai ajang menumpahkan unek-unek dan mencari penyelesaian bersama, maka pertengkaran akan membawa sesuatu yang positif bagi kedua belah pihak. Bertengkar sehat yang seperti ini akan membuka celah untuk introspeksi diri dan menjadi ajang berbagi pendapat. Bisa pula mencegah salah satu pihak memendam masalah yang akhirnya suatu hari nanti bisa menjadi gunung api yang siap meletus sewaktu-waktu .

Cara penyelesainnya :

Tuduh menuduh merupakan aktivitas gag enak yang rentan membuat salah satu pihak tersinggung . Orang yang sudah tersinggung sulit untk cooling down karna itu hindari menuduh .

Kalimat tuduhan dan penghakiman biasanya berbentuk langsung menunjuk kepada sifat yang buruk atau aktivitas yang dipandang si pembicara sebagai sesuatu yang keliru. “Anda orang yang egois!” Ini adalah salah satu contoh menunjuk sifat buruk. “Anda senangnya cuma duduk-duduk saja, tahunya kerjaan beres!” Ini contoh yang menunjuk kepada aktivitas yang dinilai buruk oleh si pembicara.
Daripada mengeluarkan kalimat-kalimat yang memojokkan seperti di atas, mending gunakan kalimat yang bisa ‘menyelamatkan’ pertengkaran lebih lanjut. Cobalah katakan, “Aku tahu Anda mengharapkan yang begini…begini, tapi kenyataannya kan masalahnya jadi begitu…begitu… sehingga jadilah beginu…begiti,”

Hindari Intonasi Tinggi dan Suara Keras
Seni bertengkar lainnya yang penting adalah menghindari intonasi tinggi dan suara keras. Tentu tak ada yang memungkiri bahwa kelemahlembutan dan keramahan sikap itu menarik hati semua orang. Karena itu pula Rasulullah r pun pernah berkata tentang lemah lembut ini, yang artinya, “Tidaklah ada kelemahlembutan dalam sesuatu kecuali memperindahnya, dan tidaklah ada kekerasan dalam sesuatu kecuali menodainya.” (Hadits riwayat Muslim).
Terhadap Fir’aun yang kafirnya amat sangat, Allah tetap saja memerintahkan Nabi Musa untuk berkata dengan lemah lembut kepada Fir’aun. Maka, ingatlah, siapa sahabat Anda dan siapa Fir’aun. Sahabat Anda tentu saja tak sehebat Fir’aun pembangkangannya terhadap Allah. Dan perlu diingat pula siapa kita dan siapa Nabi Musa. Kita tentu saja juga tak ada apa-apanya dibandingkan kesalehan Nabi Musa.
So, jaga agar kepala kita tetap dingin, hati tetap tenang. Bertengkar bukanlah ajang adu kekuatan dan tarik ulur pita suara. Sayang dong kalo energi yang telah diberikan oleh Allah kepada kita hanya kita habiskan untuk adu pendapat dan argumentasi. Lebih baik energi itu kita simpan untuk berbuat taat kepada Allah atau untuk mengerjakan hal-hal yang bermanfaat lainnya. Dalam masalah bertengkar ini, hemat energi sama dengan hemat masalah.

Stop Merasa Paling Benar
Merasa paling benar masih merupakan saudara dari ganti menyalahkan di atas. Dengan bersikap seolah yang paling benar dalam pertengkaran akan membuat pihak yang merasa bersalah terpojok banget. Orang yang terpojok biasanya akan menggunakan strategi serang balik sehingga muncullah pembelaan diri. Kalo membela diri bisa terbawa kepada mengelak, kalo mengelak bisa terbawa kepada menyalahkan pihak lain, jika menyalahkan maka cenderung mengungkit kesalahan masa lalu. Nah, akhirnya benar juga merasa paling benar dan ganti menyalahkan memang masih saudara kandung yang punya hubungan timbal balik. Yang satu menyebabkan yang lain. Jika ini yang terjadi, maka pertengkaran akan berlarut-larut dan masalah tak terpecahkan.
Tapi stop juga merasa salah semua atau salah terus atau paling salah. Sikap merasa salah yang seperti ini bukan pengejawantahan sikap introspeksi, tapi lebih kepada kekecewaan dan keputusasaan terhadap diri sendiri serta ingin lari dari masalah. Sikap merasa salah semua contohnya tercermin dalam kalimat, “Sudah, sudahlah, saya memang selalu salah, kok,” atau “Baiklah, saya yang salah terus, saya kan yang paling keliru dalam hal ini,” Perhatikan intonasi yang tepat untuk kalimat seperti ini.
Sikap merasa salah yang seperti ini cenderung bermakna melarikan diri dari masalah. Akibatnya kita tidak mau lagi untuk berusaha mencari akar permasalahan. Jika masalah hanya selesai pada tingkat permukaan, nggak tuntas sampai ke akar-akarnya, pertengkaran punya potensi untuk timbul lagi. Lagi. Dan lagi.

Jangan Ragu Minta Ma’af
Salah? Jangan ragu untuk minta maaf jika memang kita berada di pihak yang bersalah. Kehilangan sahabat tentu lebih sakit daripada sekedar minta maaf. Meski menyimpan kesal, santai saja, bertengkar bukanlah perlombaan untuk mencari salah dan benar.
Ingat juga, siapa yang memulai pertengkaran perlu juga minta maaf walaupun ia bukanlah yang akhirnya salah dalam pertengkaran tersebut. Pertengkaran bukanlah hal yang mengenakkan dan pasti menyakitkan. Artinya, memulai pertengkaran sama saja dengan menyakiti yang ‘diajak’ bertengkar. Karena itu perlu dong minta maaf. Walaupun di pihak yang benar, kan, tetap saja menyakiti.

0 komentar:

Posting Komentar